Jumat, 18 April 2014

Cerpen : Aku ingin melihatmu sekarang





Siang itu panas tapi aku acuh saja dan terus melangkahkan kakiku dengan mantap ke taman kota. Aku tidak bisa berhenti tersenyum membayangkan kau dan aku duduk bersisian di kursi taman. Dan sekarang aku kelewat bahagia karena hari ini aku tidak akan hanya sekedar membayangkannya karena sebentar lagi aku akan benar-benar melihatmu. Kau dan aku. Dua orang yang  tidak saling mengenal akan segera di pertemukan.
           Aku mendaratkan pantatku dengan mulus di sebuah kursi taman dan mulai menatap air mancur di depanku ini dengan antusias karena air mancur ini akan menjadi saksi pertemuanku denganmu nantinya. Di hari kemudian dengan bangga akan ku sampaikan pada teman-temanku di sinilah awal pertemuan kita. Membayangkannya saja aku sudah begitu senang apalagi setelah nanti semuanya menjadi kenyataan.
            Tiba- tiba deringan telepon di saku celana mengagetkanku dan memaksaku untuk kembali ke  alam nyata. Ternyata kau yang meneleponku untuk memberi kabar kalau pertemuan kita terpaksa harus di tunda, kau beralasan kalau sekarang di rumahmu ada acara keluarga. Aku tersenyum meski sebenarnya di dalam hati aku merasakan kecewa yang teramat sangat. Tidak apa-apa, toh masih ada hari lain jawabku saat mendengar suaramu yang memohon agar aku tidak merasa kecewa dan berkali-kali memohon maaf. Memang mungkin bukan  hari ini sejarah kita harus di mulai.
            Setelah hanya mematung beberapa saat menyesali gagalnya pertemuan kita aku terpaksa harus beranjak karena matahari yang tadi begitu teriknya mendadak terganti dengan awan yang begitu gelap dan kelabu. Pasti hujan akan turun sebentar lagi pikirku sembari menepuk-nepuk bagian belakang celanaku yang kotor karena debu yang menempel di kursi taman ini. Saking semangatnya aku samapai lupa membersihkannya. Lihatlah semua ini, cinta. Karena pesonamu aku bahkan melanggar prinsipku untuk menjauhi kuman-kuman. Aku bahkan mendadak seperti orang sinting akhir-akhir ini, tersenyum dan tertawa tanpa sebab. Aku tidak pernah seperti ini sebelumya dan  ini  sama sekali bukan gayaku. Aku adalah tipe laki-laki sibuk dan tak pernah memikirkan soal kehidupan asmaranya dan aku ini orang yang sulit menerima kehadiran orang asing. Bukan apa-apa,  mungkin ini didikan masa laluku yang sulit dan selalu dipermainkan takdir. Tapi aku tidak pernah menyalahkan takdir. Karena takdirlah yang akan menyatukan kita saat tiba-tiba kau memasuki kehidupanku dan menambahkan jutaan warna yang membuat hidupku yang sebelumnya membosankan menjadi lebih seru.
            Beberapa bulan yang lalu aku mengira hidupku akan tamat. Aku bahkan sudah memesan nisan dengan ukiran namaku di atasnya. Aku merasa tiada berguna hidup di dunia ini karena aku selalu sendirian dan tak punya keluarga.  Tapi kau dengan dengan mudahnya membuat keyakinanku tentang kematian menguap begitu saja. Hiduplah dengan baik, kata itu terus terngiang di kepalaku saat aku akan beranjak tidur setelah beberapa saat aku habis chatting denganmu. Benar, kau dan aku hanya beberapa kali saling menyapa di sebuah situs jejaring sosial tapi bagiku kau sudah seperti mengenalku selama bertahun-tahun. Setiap kata yang kau ucapkan mampu membuatku terkagum-kagum karena selalu ada yang mengena dengan kenyataan yang sering ku hadapi. Aku merasa kau lebih mengerti hidupku daripada aku sendiri. Dengan kesederhanaanmu kau sudah membuatku menjalani hidup dengan lebih mudah karena aku telah berhasil menyingkirkan jauh-jauh perasaan iriku terhadap kehidupan orang lain.
 Katamu, "Hidup ini bagaimanapun  menyakitkannya adalah pemberian tuhan. Memangnya kau ini siapa berani mencoba untuk mengakhirinya. Saat kita di lahirkan di dunia ini saat itu pula kita menanggung beban untuk menjalani kehidupan dengan baik dan membahagiakan orang yang ada di sekitar kita. Apa kau sudah merasa tugas untuk membahagiakan orang-orang di sekitarmu sudah selesai? Apa karena kau tidak tau siapa orangtua yang telah melahirkanmu kau bisa memutuskan hidupmu harus berakhir sekarang? Kau bagaimanapun masih di beri kesempatan untuk hidup  jadi hiduplah dengan baik."
         Aku sama sekali tidak sadar hanya karena memikirkanmu lagi aku menjadi basah kuyup. Entah kapan hujan turun karena sekarang tubuh ini menggigil kedinginan. Lihatlah cinta, betapa dahsyatnya pesonamu itu.
        Mendadak aku berubah pikiran saat aku berlari aku melihat pasangan muda-mudi yang sama-sama berlari sepertiku hanya saja mereka terlihat lebih beruntung karena mereka menembus hujan bersama dengan orang yang mereka kasihi. Bagimanapun setelah ini aku harus melihatmu secara langsung. Aku tidak peduli lagi kalau di rumahmu sekarang sedang ada acara penting keluarga. Aku ingin melihat kau sekarang. Apa aku egois? Cinta, bisakah kau menerima keegoisanku?
Aku berlari dan terus berlari mencoba mencapai parkiran mobil secepatnya. Lihatalah aku, aku bahkan tidak merasa dingin sekarang mungkinkah ini karena aku terlalu bersemangat untuk melihatmu. Dengan gemetaran aku memasukkan kunci mobilku dan men-staternya dengan asal-asalan. Ah.. ada apa denganku? Sudah ku katakan ini sama sekali bukan gayaku, iya kan? Tapi ini cinta. Cinta yang terkadang membuatmu menjadi bodoh seketika.

                                                                      #########

            Bukannya acara keluarga yang hangat yang akan kunikmati tapi saat kematianku yang kian dekat. Maafkan aku karena membohongimu. Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Seharusnya aku menyadarinya saat pertama kali kita saling berkenalan. Kau mungkin akan menaruh hati padaku karena aku sering memberimu semangat untuk tetap hidup. Tapi, lihatlah aku. Aku sendiri bahkan tak mampu memaksa tubuhku lagi untuk tetap bertahan. Aku lemah dan tak kuat lagi.  Aku akan segera mati.


            Suara hujan masih samar terdengar di luar kamarku meski sepertinya akan berhenti sebentar lagi. Hujan ini adalah hujan terakhir yang kulewati dan  setelah ini aku takkan bisa lagi menikmatinya. Pemuda putus asa, jangan lagi menyerah dengan hidupmu. Cukup aku saja  yang menyerah.

tag <cerpen>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar